BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Banyak penyakit yang dikaitkan
secara langsung dengan kebiasaan merokok. Salah satu yang harus diwaspadai
adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) / Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD).
Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka
kematian mencapai 6% dan angka kesakitan wanita 2% angka kematian 4%, umur di
atas 45 tahun, (Barnes, 1997). Pada tahun 1976 ditemukan 1,5 juta kasus baru,
dan tahun 1977 jumlah kematian oleh karena PPOK sebanyak 45.000, termasuk
penyebab kematian di urutan kelima (Tockman MS., 1985). Menurut National Health
Interview Survey, didapatkan sebanyak 2,5 juta penderita emfisema, tahun 1986
di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih memerlukan
rawat tinggal di rumah sakit. The Tecumseh Community Health Study menemukan
66.100 kematian oleh karena PPOK, merupakan 3% dari seluruh kematian, serta
urutan kelima kematian di Amerika (Muray F.J.,1988). Peneliti lain menyatakan,
PPOK merupakan penyebab kematian ke-5 di Amerika dengan angka kematian sebesar
3,6%, 90% terjadi pada usia di atas 55 tahun (Redline S, 1991 dikutip dari Amin
1966). Pada tahun 1992 Thoracic Society of the Republic of China (ROC)
menemukan 16% penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun 1994
menemukan kasus kematian 16,6% per 100.000 populasi serta menduduki peringkat
ke-6 kematian di Taiwan (Perng, 1996 dari Parsuhip, 1998).
Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang
kekerapan PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan
angka kematian emfisema, bronkitis kronik dan asma menduduki peringkat ke-6
dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Hadiarto, 1998). Survey
Penderita PPOK di 17 Puskesmas Jawa Timur ditemukan angka kesakitan 13,5%,
emfisema paru 13,1%, bronkitis kronik 7,7% dan asma 7,7% (Aji Widjaja 1993).
Pada tahun 1997 penderita PPOK yang rawat Inap di RSUP Persahabatan sebanyak
124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau 18,95% (Hadiarto, 1998).
Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2003 ditemukan penderita PPOK rawat inap
sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, angka kematian
PPOK tahun 2010 diperkirakan menduduki peringkat ke-4 bahkan dekade mendatang
menjadi peringkat ke-Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin
lama masa waktu menjadi perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK.
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menemukan peningkatan
konsumsi rokok tahun 1970-1993 sebesar 193% atau menduduki peringkat ke-7 dunia
dan menjadi ancaman bagi para perokok remaja yang mencapai 12,8- 27,7%. Saat
ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok tembakau serta
menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi rokok terbanyak di
dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang rokok per tahun, Amerika
Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328 miliar batang setahun, Rusia 258
miliar batang setahun, dan Indonesia 215 miliar batang rokok setahun. Kondisi
ini memerlukan perhatian semua fihak khususnya yang peduli terhadap kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat.
Atas dasar itulah, kami membahas lebih lanjut mengenai
emfisema yang merupakan salah satu bagian dari PPOK khususnya mengenai Asuhan
Keperawatan pada Klien Emfisema. Sehingga diharapkan perawat mampu memberikan
asuhan keperawatan yang tepat pada klien emfisema.
B.Rumusan
Masalah
1. Apakah
definisi emfisema?
2.Apakah etiologi dari emfisema?
3.Apakah patofisiologi dari emfisema?
4.Apa sajakah komplikasi dari emfisema ?
5.Apa sajakah manifestasi klinis dari emfisema?
6.Bagaimanakah penatalaksanaan dari emfisema?
7.Bagaimanakah pemeriksaan diagnostik dari emfisema?
8.Bagaiamana askep dari emfisema?
C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada
klien dengan emfisema.
b.Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi emfisema.
2. Mengetahui dan memahami etiologi emfisema.
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi emfisema.
4. Mengetahui dan memahami komplikasi yang dapat ditemukan
pada klien dengan emfisema.
5. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis emfisema.
6. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari emfisema.
7. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik emfisema.
8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan
emfisema.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
Emphysema
(emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada
jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah
penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru
menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
Definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan
The American Thorack society:
1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku
mengembang dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus
Irianto.2004.216).
2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai
pembesaran abnormal ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan
desruksi dindingnya.(Robbins.1994.253).
3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat
kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan alveoli.(Corwin.2000.435).
4. Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang
disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society 1962).
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang
ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi
jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, jika
ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa
disertai adanya destruksi jaringan, maka itu “bukan termasuk emfisema”. Namun,
keadaan tersebut hanya sebagai ‘overinflation’.
Emfisema adalah jenis
penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan pada kantung udara
(alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang
diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami
batuk kronis dan sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok.
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus.
Alveolus sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada
penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang
sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru
terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin
adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini
Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang
diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru :
1. PLE (Panlobular Emphysema/panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga
merusak paru-paru bagian bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus
alveolar, dan alveoli. Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana
alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran
serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar
merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita
emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua
dan bronchitis kronik.
Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah
diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah
anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan
terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan
cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus sedikit
banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki
dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan
berat badan. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sering kali timbul
pada perokok.
2. CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)
Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus
sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul
dan memperlihatkan kerusakan bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas.
Inflamasi merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap
bersisa. CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus
respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan
akhirnya cenderung menjadi satu ruang.
Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas
paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan
rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan
CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan.
Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas. CLE lebih
banyak ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok
(Sylvia A. Price 1995).
3. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan
isolasi blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal
emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan.
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi
dapat juga tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur
bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat
melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi
sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit, sehingga
sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
B.
ETIOLOGI
1. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema.
Faktor genetik diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia
atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus,
riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1
anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan
keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan
berubah dan timbul emfisema.
3. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok
secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
4. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih
hebat sehingga gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti
pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi
jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi
pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru
bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di
isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus
pneumoniae.
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema.
Insiden dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di
daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau,
dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar.
Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi
bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
6. Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi
rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan
faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
7. Pengaruh usia
C.
PATOFISILOGI
Emfisema merupakan kelainan di mana
terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang akan menyebebkan overdistensi
permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu akibat dari perubahan ini.
Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan
paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi
pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara
alveoli, jalan nafas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut
atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara
ruang alveolus yang disebut blebsdan di antara parenkim paru-paru
yang disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan peningkatan
ventilatory pada ‘dead space’ atau area yang tidak mengalami
pertukaran gas atau darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler
paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi.
Emfisema masih dianggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini
timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan bronkhitis dan
merokok.
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu
penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang.
Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin.
Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang
sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian
AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik.
Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan
anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan
menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan
timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok,
polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas
system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama
enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi
keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan
jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal
terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar
yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot
dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu
elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal,
tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian
bawah paru akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan
lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup
serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang
tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan
ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara
pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga
timbul hipoksia dan sesak nafas.
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai
perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh
atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara
berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi sebagian yang mengenai
suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus
menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi
penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.
D.
KOMPLIKASI
- Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
- Daya tahan tubuh kurang sempurna
- Tingkat kerusakan paru semakin parah
- Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
- Pneumonia
- Atelaktasis
- Pneumothoraks
- Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
E.
MANIFESTASI KLINIS
Emfisema paru adalah suatu penyakit
menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada
pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul
perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru.Umur 35-45 tahun timbul
batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan
perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat
menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.
F.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan emfisema paru
terbagi atas:
1. Penyuluhan, Menerangkan pada para pasien
hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan
bagaimana cara pengobatan dengan baik.
2. Pencegahan
a. Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan
dan usaha yang optimal harus dilakukan
b. Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan
penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang
mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas.
c. Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi,
terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.
3. Terapi Farmakologi, tujuan utama adalah untuk
mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen reversible
meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan:
a. Pemberian Bronkodilator,
Golongan teofilin, biasanya diberikan dengan dosis 10-15
mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi
dalam darah yang baik antara 10-15mg/L.
Golongan agonis B2, biasanya diberikan secara
aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan
pemberian agak lama.
b. Pemberian Kortikosteroid, pada beberapa pasien, pemberian
kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas. Hinshaw dan
Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu.
Kalau tidak ada respon baru dihentikan.
c. Mengurangi sekresi mukus
Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer
sehingga urine tetap kuning pucat. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah
gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida. Nebulisasi dan humidifikasi
dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum. Mukolitik dapat
digunakan asetilsistein atau bromheksin.
4. Fisioterapi dan Rehabilitasi, tujuan fisioterapi dan
rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan
memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional. Program
fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
a. Mengeluarkan mukus dari saluran nafas.
b. Memperbaiki efisiensi ventilasi.
c. Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
5. Pemberian O2 dalam jangka panjang, akan memperbaiki
emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien
hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make,
pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada
pemberian 12 jam/hari.
G.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksan radiologis,
pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terdapat dua
bentuk kelainan, yaitu:
a. Gambaran defisiensi arter
Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan
datar,kadang-kadang terlihat konkaf. Oligoemia, penyempitan pembuluh darah
pulmonal dan penambahan corakan kedistal.
b. Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor
pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu
hebat.
2. Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru
kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3. Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir
adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga
PaCO2 rendah atau normal.Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
4. Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling
dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal
terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan
aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang
dari 1.
a) Sinar x dada: dapat
menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area
udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan
tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
b) Tes fungsi paru:
dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi
abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi
dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
c) TLC: peningkatan pada
luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema.
d) Kapasitas inspirasi:
menurun pada emfisema.
e) Volume residu:
meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
f) FEV1/FVC: rasio
volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronkitis dan
asma.
g) GDA: memperkirakan
progresi proses penyakit kronis. Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi
silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat
(emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.
h) JDL dan diferensial:
hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
i) Kimia
darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa
emfisema primer.
j) Sputum: kultur
untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
k) EKG: deviasi aksis
kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis),
peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis
vertikal QRS (emfisema).
l) EKG
latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program
latihan.
H.
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN EMFISEMA
1)
Diagnosa keperawatan
Diagnosa
|
Tujuan & Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
Ketidakefektifan jalan napas b/d peningkatan produksi sekret.
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan 1x30 menit jalan napas kembali efektif dengan KH :
Klien mengatakan tidak sesak napas lagi.
Mempertahankan jalan napas.
Bunyi napas bersih/ jelas.
Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas missal, batuk
efektif dan mengeluarkan sekret.
|
Kaji/ pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi/ ekpirasi.
Kaji apsien untuk posisi yang nyaman. Missal, peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
|
Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada
penerimaan/ setres/ adanya proses infeksi akut. Pernapasan dapat melambat dan
frekuensi ekspirasi memanjang dibandingkan inspirasi.
Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan
menggunakan gravitasi. Namun, pasien dengan distress berat akan mencari
posisi yang paling mudah untuk bernapas.
|
Pertahankan polusi lingkungan minimum. Misal, debu, sap, dan bulu bantal yang
berhubungan dengan kondisi individu.
|
Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang sapat mentriger episode akut.
|
||
Dorong/ bantu latihan napas abdomen/ bibir.
|
Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan
menurunkan jebakan udara.
|
||
Observasi karakteristik batuk. Missal, menetap, batuk pendek, basah. Bantu
tindakan untuk memperbaiki kefektifan upaya batuk.
|
Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit
akut, atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi/ kepala
di bawah.
|
||
Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung.
Memberiakn air hangat.
|
Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,mempermudah pengeluaran.
Penggunaan cairan hangat dapat menurukan spasme bronkus.
|
||
Kolaborasi pemberian obat.
Bronkodilator, mis, B- agonis,
epinefrin ( adrenalin, vaponefrin).
|
Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal,menurunkan spasme jalan
napas, mengi dan produksi mukosa. Obat- obat mungkin peroral, injeksi atau
inhalasi.
|
||
Beri analgesik
|
Batuk menetap yang melelahkan perlu ditekan untuk menghemat energi dan
memungkinkan pasien istirahat.
|
||
Gangguan pertukaran gas b/d kerusakan alveoli.
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan 1x30 menit pertukaran gas kembali efektif dengan KH :
Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi.
Bebas gejala distress pernapasan.
TTV normal
|
Kaji frekuensi kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot aksesori, napas
bibir, ketidak mampuan bicar/ berbincang.
|
Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan atau kronisnya proses
penyakit.
|
Kaji/ awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
|
Sianosis mungkin perifer ( terlihat pada kuku) atau sentral ( terlihat
sekitar bibir/ daun telinga ). Keabu- abuan dan diagnosis sentral
mengindikasikan beratnya hipoksemia.
|
||
Tinggikan kepala, bantu pasien untuk memilih posisi yang muah untuk bernapas.
Dorong napas dalam perlahan/ napas bibir sesuai kebutuhan/ toleransi
individu.
|
Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan
napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
|
||
Awasi tanda vital dan irama jantung.
|
Takikkardia, distritmia, dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia
sistrmik pada fungsi jantung.
|
||
Kolaborasi dalam pemberian penekan SSP ( mis, antiansietas, sedatof/
narkotik) dengan hati- hati.
|
Digunakan untuk mengontrol ansietas/ gelisah yang meningkatkan konsumsi
oksigen/ kebutuhan. Eksaserbasi dispnea dipantau ketat karena dapat terjadi
gagal napas.
|
||
Gangguan pemenuhan nutrisi b/d penurunan nafsu makan.
|
Setelah dilakukan tindakan 1x24
jam nutrisi klien terpenuhi dengan KH :
Peningkatan berat badan.
Bibir lembab.
Gangguan pengecapan hilang.
Klien tampak rileks.
|
Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. catat derajat kesulitan makan.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
|
Pasien distress pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea. Produksi
sputum, dan obat. Selain itu pasien mempunyai kebiasaan makan buruk.
|
Auskultasi bunyi usus.
|
Penurunan/ hipoaktif bising usus menunjukkan penurunan mobilitas gaster dan
konstipasi( komplikasi umum) yang berhubungan dengan pembatasan pemasukan
cairan.
|
||
Hindari makanan penghasil gas an minum karbonat.
|
Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu abdomen dan gerakan
diafragma, dan dapat meningkatkan dispnea.
|
||
Hindari makan yang panas atau dingin
|
Suhu ekstrem dapat mencetuskan/ meningkatkan spasme batuk.
|
||
Kolaborasi dengan ahli gizi/ nitrisi.
|
Kebutuhan kalori di dasarkan pada kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi
maksimal.
|
||
Kaji pemeriksaan laboratorium, mis, albumin, serum, asam amino, glukosa,
elektrolit.
|
Mengevaluasi/ mengatasi kekurangan dan mengawasi keefktifan terapi nutrisi.
|
||
Resiko infeksi b/d proses penyakit.
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan 1x24 jam resiko infeksi dapat dihindari dengan KH:
Klien mengatakan produksi sekret berkurang.
Klien mengatakan mampu membuang sekret.
Peningkatan imunitas.
|
Awasi suhu.
|
Demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
|
Kaji pentingnya latihan napas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan
masukan cairan adekuat
|
Aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk menurunkan
resiko terjadinya infeksi paru.
|
||
Onservasi warna, karakter, dan bau sputum.
|
Sekret berbau, kuning atau kehijauan menunjukkan adanya infeksi paru.
|
||
Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum.
|
Mencegah penyebaran pathogen melalui cairan.
|
||
Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
|
Menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius.
|
||
Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
|
Menurunkan konsumsi/ kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki
pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
|
||
Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
|
Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap
infeksi.
|
||
Kolaborasi: dapatkan specimen sputum dengan batuk/ penghisapan untuk
pewarnaan kuman gram, kultur/ sensitivitas.
|
Dilakukan untuk mengidentifikasikan organisme penyebab dan kerentanan
terhadap berbagai antimikrobial.
|
||
Berikan antimikrobial sesuai indikasi.
|
Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan
sensitivitas, atau deberikan secara profilaktik karena resiko tinggi.
|
||
Ketidaktahuan/ peminuhan informasi b/d tidak adekuatnya informasi mengenai
proses penyakit dan pengobatan
|
Setelah dilakukan tindakan
kepearawtan 1x24 jam klien mendapatkan informasi tentang proses penyakit dan
pengobatan dengan KH :
Pernyataan tentang informasi.
Klien mengikuti proses keperawatan.
|
Instruksikan/ kuatkan rasional untuk latihan napas, batuk efektif, dan
latihan kondisi umum.
|
Napas bibir dan napas abdominal/ diafragmatik menguatkan otot pernapasan,
membantu miminimalkan kolaps dan napas kecil, dan memberikan individu arti
untuk mengontrol dispnea. Latihan kondisi umum menginkatkan toleransi
aktivitas, kekuatan otot, dan rasa sehat.
|
Jelaskan/ kuatkan penjelasan proses penyakit individu. Dorong pasien/ orang
terdekat untuk menanyakan pernyataan.
|
Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana
pengobatan.
|
||
Anjurkan menghindari agen sedative ansietas kecuali diresepkan diberikan oleh
dokter mengobati kondisi pernapasaan.
|
Meskipun pasien mungkin gugup dan merasa perlu sedative, ini dapat menekan pernapasan
dan melindungi mekanisme batuk.
|
||
Kaji efek bahaya merokok dan nasehatka menghentikan rokok pada pasien atau
orang terdekat.
|
Penghentian merokok dapat memperlambat kemajuan pengobatan.
|
||
Diskusikan obat pernapasan, efek samping dan reaksi yang tidak diingankan.
|
Pasien sering mendapatkan obat pernapasan banyak sekaligus yang mempunyai
efek smping hampir sama dan potensial interaksi obat.
|
||
Tekankan pentingnya perawatan oral/ kebersihan gigi.
|
Menurunkan pertumbuhan bakteri pada mulut, dimana dapat menimbulkan infeksi
saluran napas atas.
|
2)
EVALUASI
DIAGNOSA
|
EVALUASI
|
Ketidakefektifan jalan
napas b/d peningkatan produksi sekret.
|
S : klien
mengatakan bisa bernapas dengan lega.
Klien mengatakan batuk berkurang.
Klien mengatakan dapat istirahat.
O : Bunyi pernapasan
normal.
Pernapasan mulai teratur.
A : Masalah teratasi dalam
waktu 1x30 menit.
P : intervensi dihentikan.
|
Gangguan pertukaran gas
b/d kerusakan alveoli.
|
S : klien mengatakan
pernapasan lega.
Klien mengatakan dapat istirahat.
O : klien tampak rileks.
Produksi secret menurun.
A : Masalah teratasi dalam
waktu1x30 menit.
P : intervene dihentikan.
|
Gangguan pemenuhan nutrisi
b/d penurunan nafsu makan.
|
S : Klien mengatakan
gangguan sensasi pengecapan menghilang.
Klien mengatakan nafsu makan
mukai membaik.
Klien mengatakan merasa lebih
baik.
O : Peningkatan berat
badan.
Bibir dan kulit lembab.
A : masalah teratasi dalam
waktu 1x 24 jam.
P : Intervensi dihentikan.
|
Resiko infeksi b/d proses
penyakit.
|
S : Klien mengatakan mapu
membuang sekret.
O : Produksi sekret
menurun.
Imunitas meningkat.
Nutrisi terpenuhi.
A : masalah teratasi dalam
waktu 1x24 jam.
P : Intervensi dihentikan.
|
Ketidaktahuan/ peminuhan
informasi b/d tidak adekuatnya informasi mengenai proses penyakit dan
pengobatan.
|
S : Klien mengatakan
mengerti mengenai penyakit dan pengobatan.
O : Klien mengikuti
prosedur perawatan.
A : Masalah teratasi dalam
waktu 1x24 jam.
P : intervensi dihentikan.
|
Analisa Data
Symptom
|
Etiologi
|
Proplem
|
Ds : - Klien mengatakn tidak mampu
membuang sekret.
|
Kerusakan alveoli
|
Gangguan pertukaran gas
|
Ds : -Klien mengatakan mengalami
Penurunan berat badan.
-Klien mengatakan merasa lemah.
-Klien mengatakan mengatakan
mengalami gangguan sensasi
pengecapan.
Do : -Muka pucat.
-Bibir kering.
-kulit kering.
-Rambut kusam.
|
Produksi sputum berlebihan
|
Gangguan pemenuhan nutrisi
|
Ds : -Klien mengatakan sulit
bernapas.
- Klien mengatakan mengalami batuk
menetap, batuk kering dan
berdahak.
Do :-Terdengar ronki.
-Peningkatan respirasi.
|
Peningkatan produksi sekret
|
Ketidakefektifan jalan napas
|
Ds :- Klien mengatakn tidak mampu
membuang sekret.
Do :-Peningkatan produksi sekret.
-Penurunan imunitas.
-Malnutrisi.
|
Proses penyakit kronis
|
Resiko infeksi
|
Kurang informasi mengenai
penyakit.
|
Ketidaktahuan/ pemenuhan informasi
|
Prioritas Masalah
Ketidakefektifan jalan napas.
Gangguan
pertukaran gas.
Gangguan
pemenuhan nutrisi.
Resiko
infeksi.
Ketidaktahuan/ pemenuhan informasi
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat kami ambil
dari penjelasan isi makalah diatas adalah sebagai berikut :
- Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
- Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru : PLE (Panlobular Emphysema/panacinar), CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar), Emfisema Paraseptal.
- Asuhan keperawatan pada penderita emfisema secara garis besar adalah membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen klien.
B.
SARAN
Sebagai perawat diharapkan mampu
untuk melakukan asuhan keperawatan terhadap penderita emfisema. Perawat
juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam hal ini melakukan penyuluhan
mengenai pentingnya hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang
harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Baughman,D.C& Hackley,J.C.2000. Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta : EGC
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Balai Penerbit FKUI,
Jakarta 2001
Mills,John& Luce,John M.1993. Gawat Darurat
Paru-Paru.Jakarta : EGC
Perhimpunan Dokter Sepesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Editor Kepela : Prof.Dr.H.Slamet Suryono Spd,KE
Soemarto,R.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi.Surabaya :
RSUD Dr.Soetomo
Nurhayati.2010.(online).
http://ksupointer.com/2010/emfisema-bisa-timbulkan-kematian. diakses pada
tanggal 15 November 2010
Flyfreeforhelp.2010.(online).
http://lifestyle.okezone.com/read/2010/02/22/27/306051/search.html. diakses
pada tanggal 15 November 2010
……,2010.(online).http://www.soft-ko.co.cc/2010/10/emfisema_06.html.
diakses pada tanggal 19 November 2010
No comments:
Post a Comment